Cara Pengendalian Pertumbuhan Mikroba
Cara pengendalian pertumbuhan mikroba secara umum terdapat dua prinsip, yaitu: 1) dengan membunuh mikroba, 2) menghambat pertumbuhan mikroba. Pengendalian mikroba, khususnya bakteri dapat dilakukan baik secara kimia maupun fisik, yang keduanya bertujuan menghambat atau membunuh mikroba yang tidak dikehendaki.
Cara pengendalian mikroba :
1. Cleaning (kebersihan) dan Sanitasi
Cleaning dan Sanitasi sangat penting di dalam mengurangi jumlah populasi bakteri pada suatu ruang/tempat. Prinsip cleaning dan sanitasi adalah menciptakan lingkungan yang tidak dapat menyediakan sumber nutrisi bagi pertumbuhan mikroba sekaligus membunuh sebagian besar populasi mikroba.
2. Desinfeksi
Desinfeksi adalah proses pengaplikasian bahan kimia (desinfektans) terhadap peralatan, lantai, dinding atau lainnya untuk membunuh sel vegetatif mikrobial. Desinfeksi diaplikasikan pada benda dan hanya berguna untuk membunuh sel vegetatif saja, tidak mampu membunuh spora.
3. Antiseptis
Antiseptis merupakan aplikasi senyawa kimia yang bersifat antiseptis terhadap tubuh untuk melawan infeksi atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme dengan cara menghancurkan atau menghambat aktivitas mikroba.
4. Sterilisasi
Proses menghancurkan semua jenis kehidupan sehingga menjadi steril. Sterilisasi seringkali dilakukan dengan pengaplikasian udara panas.
Pengendalian Mikroba Secara Kimia
Banyak zat-zat kimia yang dewasa ini digunakan untuk membunuh atau mengurangi jumlah mikroba, terutama yang patogen. Pengendalian secara kimia umumnya lebih efektif digunakan pada sel vegetatif bakteri, virus dan fungi, tetapi kurang efektif untuk menghancurkan bakteri dalam bentuk endospora. Oleh karena tidak ada bahan kimia yang ideal atau dapat digunakan untuk segala macam keperluan, maka diperlukan beberapa hal dalam memilih dan menggunakan senyawa kimia untuk tujuan tertentu, yaitu :
a Aktivitas antimikroba, yaitu memiliki kemampuan untuk mematikan mikroorganisme, dalam konsentrasi yang rendah pada spektrum yang luas, artinya dapat membunuh berbagai macam mikroorganisme.
b Kelarutan, artinya senyawa ini bisa larut dalam air atau pelarut lain, sampai pada taraf yang diperlukan secara efektif.
c Stabilitas, artinya memiliki stabilitas yang tinggi bila dibiarkan dalam waktu yang relatif lama dan tidak boleh kehilangan sifat antimikrobanya.
d Tidak bersifat toksik bagi manusia maupun hewan lain, artinya senyawa ini bersifat letal bagi mikroba dan tidak berbahaya bagi manusia maupun hewan lain.
e Homogenitas, komposisinya harus selalu sama, sehingga bahan aktifnya terdapat pada setiap aplikasi.
f Ketersediaan dan biaya, senyawa itu harus tersedia dalam jumlah besar dengan harga yang pantas.
g Sifat bahan harus serasi , yaitu zat kimia yang digunakan untuk disinfeksi alat-alat yang terkontaminasi tidak baik digunakan untuk kulit karena dapat merusak sel kulit.
h Tipe mikroorganisme, artinya tidak semua mikroorganisme rentan terhadap mikrobiostatik atau mikrobiosida, oleh karena itu harus dipilih tipe mikroorganisme yang akan dibasmi.
Pada prinsipnya, cara kerja agen kimia ini digolongkan menjadi:
1. Agen kimia yang merusak membran sel mikroba : Golongan Surfaktans (Surface Active Agents), yaitu golongan anionik, kationik dan nonionik.
2. Agen kimia yang merusak enzim mikroba, yaitu:
a. Golongan logam berat seperti arsen, perak, merkuri, dll.
b. Golongan oksidator seperti golongan halogen, peroksida hidrogen dan formaldehid.
3. Agen kimia yang mendenaturasi protein, yaitu agen kimiawi yang menyebabkan terjadinya koagulasi dan presipitasi protoplasma, seperti alkohol, gliserol dan bahan-bahan asam dan alkalis.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas agen kimia di dalam mengendalikan mikroba, yaitu :
1. Konsentrasi agen kimia yang digunakan. Semakin tinggi konsentrasinya maka efektivitasnya semakin meningkat.
2. Waktu kontak. Semakin lama bahan tersebut kontak dengan bahan yang disterilkan maka hasilnya akan semakin baik.
3. Sifat dan jenis mikroba. Mikroba yang berkapsul dan berspora lebih resisten dibandingkan yang tidak berkapsul dan tidak berspora.
4. Adanya bahan organik dan ekstra. Adanya bahan-bahan organik dapat menurunkan efektivitas agen kimia.
5. pH atau derajat keasaman. Efektivitas bahan kimia dapat berubah seiring dengan perubahan pH.
Hanya ada beberapa zat bahan kimia secara hukum diterima untuk digunakan dalam pengawetan makanan. Diantaranya yang paling efektif adalah asam benzoat, sorbat, asetat, laktat dan propionat, kesemuanya ini adalah asam organic. Asam sorbet dan propionat digunakan untuk menghambat pertumbuhan kapang pada roti. Nitrat dan nitrit digunakan untuk mengawetkan daging terutama untuk mengawetkan warna dan bersifat menghambat pertumbuhan beberpa bakteri anaerobic, terutama clostridium botulinum.
Pengendalian Mikroba Secara Fisik
Sebagian besar bakteri patogen memiliki keterbatasan toleransi terhadap berbagai kekuatan lingkungan fisiknya.dan memiliki sedikit kemampuan untuk bertahan hidup di luar tubuh inang. Bakteri lain dapat membentuk spora yang sangat resisten terhadap keadaan fisik lingkungan dan membantu mikroba melalui peningkatan nilai pertahanan hidup.
Pada prinsipnya mikroorganisme dapat dikendalikan, yaitu dengan cara dibasmi, dihambat pertumbuhannya dalam lingkungan, dengan menggunakan berbagai proses atau sarana fisik. Proses atau sarana yang digunakan bergantung pada banyak faktor dan hanya dapat ditentukan setelah diadakan evaluasi terhadap keadaan khusus tersebut. Misalnya, untuk membasmi mikroorganisme penyebab infeksi pada hewan sakit yang mati, cara yang memungkinkan adalah membakar hewan tersebut. Tetapi, bila kita perlu mensterilkan kantung plastik yang akan digunakan untuk menampung darah, maka kita harus memilih suatu proses sterilisasi yang tidak akan merusak kantung plastik tersebut.
1. Panas
Panas sangat dipercaya dan secara umum merupakan metode yang digunakan dalam sterilisasi. Yang pertamakali harus diperhatikan dalam inaktivasi dengan menggunakan panas adalah suatu bagian konstanta organisme yang mengalami perubahan senyawa kimia dalam setiap unit waktu dan salah satu dari perubahan tersebut, cukup untuk menginaktifkan suatu organisme.
Waktu yang dibutuhkan untuk sterilisasi umumnya berhubungan dengan temperatur paparan. Hubungan ini dapat menggambarkan apa yang disebut waktu kematian termal (thermal death time), yang berkenaan dengan waktu minimal yang dibutuhkan untuk membunuh suatu suspensi mikroba pada temperatur yang ditetapkan sebelumnya dalam lingkungan khusus. Karena koefisien temperatur tinggi dilibatkan dalam sterilisasi panas, suatu perubahan temperatur minimum secara signifikan merubah waktu kematian termal. Sesuai dengan hukum aksi massa, waktu sterilisasi secara langsung berhubungan dengan jumlah mikroorganisme dalam suspensi.
Mekanisme Kerusakan Oleh Panas:
Inaktivasi bakteri oleh panas tidak dapat digambarkan dalam peristiwa biokimia sederhana. Meskipun efek letal panas lembab suatu temperatur tertentu biasanya dihubungkan dengan denaturasi dan koagulasi protein, pola kerusakan oleh panas tersebut cukup kompleks, dan secara tidak diragukan koagulasi menyembunyikan suatu perubahan kecil yang menginduksi sel sebelum koagulasi menjadi nyata.
Peristiwa yang mematikan terutama produksi rantai-tunggal (terlepasnya rantai) DNA. Hilangnya viabilitas (kelangsungan hidup) sel oleh panas sedang, dapat dihubungkan dengan pelepasan rantai DNA tersebut. Kerusakan DNA terlihat bersifat enzimatik, sebagai akibat dari aktivasi nuklease. Kemampuan sel untuk memperbaiki kerusakan dan memperoleh viabilitasnya bergantung pada tempat fisiologik dan susunan genetik organisme.
Panas juga dapat menghilangkan kekuatan fungsional membran, membocorkan molekul kecil dan 260 nm pengabsorbsi materi. Materi tersebut berasal dari degradasi ribosom oleh ribonuklease yang teraktivasi karena perlakuan panas. Dari keadaan tersebut, dapat dilihat adanya hubungan antara degradasi RNA ribosomal dengan hilangnya viabilitas sel karena temperatur tinggi.
Mekanisme kerusakan mikroorganisme oleh panas kering berbeda dengan kerusakan oleh panas lembab. Efek letal panas kering, atau desikasi (pengawetan melalui pengeringan) secara umum, biasanya karena denaturasi protein, kerusakan oksidatif, dan efek toksik dari meningkatnya elektrolit. Dalam keadaan tidak ada air, terjadi pengurangan sejumlah grup polar pada rantai peptida, dan banyak energi dibutuhkan untuk melepaskan molekul tersebut.
Komentar
Posting Komentar