Nilai-Nilai Keindonesiaan beserta Contoh Kasusnya
MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
“Nilai-Nilai Keindonesiaan beserta Contoh Kasusnya”
Dosen Pembimbing: Netty Thamaria Pakpahan, SH, MH
Disusun Oleh:
Lokal 1B - Kelompok III
Alya Permata Kaisarama P2.31.39.0.17.010
Dwi Retno Wati P2.31.39.0.17.034
Ega Ayu Prastika P2.31.39.0.17.038
Juise Fennia Putri P2.31.39.0.17.056
Ni Made Budiarthi Astini P2.31.39.0.17.074
Novita Dian Pertiwi P2.31.39.0.17.078
Prilina Eka Karimah P2.31.39.0.17.086
Putri Azmil Khalis P2.31.39.0.17.088
Reni Kartika Sari P2.31.39.0.17.092
Widiya Febriyanti P2.31.39.0.17.112
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN JAKARTA II
JURUSAN FARMASI
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang masih memberikan nafas kehidupan, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang diberikan oleh Ibu Netty Thamaria Pakpahan, SH, MH, selaku dosen pembimbing mata kuliah pendidikan kewarganegaraan. Makalah ini dibuat dengan judul ‘Nilai-Nilai Keindonesiaan beserta Contoh Kasusnya”.
Dalam makalah ini membahas tentang pengertian integritas, tantangan globalisasi. Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.
Akhirnya kami sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, dan penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi diri sendiri dan khususnya pembaca pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini.
Jakarta, September 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Makalah 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Nilai-Nilai Keindonesiaan 3
1) Berdasarkan Pancasila 3
2) Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 3
3) Berdasarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia 4
4) Berdasarkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” 5
B. Kasus-Kasus Penyimpangan Nilai Keindonesia 5
Gerakan Aceh Merdeka 9
Republik Maluku Selatan 15
Pelepasan Timor Timur 22
BAB III PENUTUP 25
A. Kesimpulan 25
B. Saran 25
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia menurut David Steinberg, adalah suatu ciptaan baru-produk loncatan imajinasi yang besar dan tidak mudah, dengan cita-cita, dan mencakupi medan kerja yang luas dalam arti geografis dan setumpuk persoalan: ekonomi, politik, sosial, dan hukum yang harus diselesaikan. Bangsa Indonesia dibangun di tengah desingan peluru dan di atas puing-puing kehancuran akibat penjajahan pun berlandaskan pada cita-cita bersama, yaitu menciptakan suatu masyarakat yang adil dan sejahtera. Lantas, keindonesiaan yang kita banggakan ini pun mengendap dalam memori kolektif kita sebagai keniscayaan sejarah atau tapal batas sejarah,---the end of history--istilah Fukuyama yang terus berusaha menggapai kesejahteraan itu sendiri.
Seperti yang kita ketahui, perkembangan budaya Indonesia salalu saja naik dan turun. Pada awalnya, Indonesia sangat banyak mempunyai peninggalan budaya dari nenek moyang kita terdahulu, hal seperti itulah yang harus dibanggakan oleh penduduk Indonesia sendiri, tetapi sekarang-sekarang ini budaya Indonesia agak menurun. Hal itu disebabkan ketidakjelasan akan pemahaman nilai-nilai kebudayaan saat ini dipengaruhi oleh pola fikir yang sedang berkembang ditengah-tengah masyarakat. Arus budaya globalisasi yang sudah mengakar dan mendarah daging pada pola fikir masyarakat sosial. Budaya globalisasi tidak dapat dibendung, ditentang, apalagi di tolak.Tergerusnya budaya bangsa harus diantisipasi dengan penguatan nilai budaya bangsa atau disebut Nilai Keindonesiaan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut dapat dirumuskan suatu masalah, yaitu:
a. Apa saja nilai-nilai keindonesiaan?
b. Apa saja contoh-contoh kasus yang telah terjadi terhadap nilai-nalai keindonesiaan?
C. Tujuan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan makalah ini, yaitu:
a. Mengetahui tentang nilai-nilai keindonesiaan.
b. Mengetahui contoh-contoh kasus yang telah terjadi terhadap nilai-nalai keindonesiaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Nilai-Nilai Keindonesiaan
Nilai-nilai keindonesiaan merupakan nilai dasar yang bersumber dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Sebagai dasar Negara; Undang-undang dasar 1945, sebagai konstitusi; Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai sasanti pemersatu; Bhineka Tunggal Ika. Secara lebih rinci nilai-nilai keindonesiaan dapat dikemukakan sebaai berikut:
1) Berdasarkan Pancasila
Nilai-nilai yang bersumber dari Pancasila
a) Nilai Religiusitas, yakni nilai-nilai spiritual yang tinggi berdasarkan keyakinan agama masing-masing, toleransi terhadap agama lain, sebagai konsekuensi nilai Ketuhanan YME;
b) Nilai Kekeluargaan, yakni nilai-nilai kebersamaan dan sepenanggungan dengan sesama warga Negara, sebagai konsekuensi bangsa majemuk yang mendiami wilayah kepulauan;
c) Nilai Keselarasan, yakni kemampuan beradaptasi dan kemauan untuk memahami serta menerima kebudayaan daerah atau kearifan local, sebagai konsekuensi dari bangsa yang bersifat plural;
d) Nilai Kerakyatan, yakni sifat kearifan kepada rakyat sebagai landasan dalam merumuskan dan mengimplementasikan suatu kebijakan publik, yang dating dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, sebagai perwujudan kedaulatan rakyat.
2) Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945
Nilai-nilai yang bersumber dari Undang-Undang Dasar 1945
a) Kesadaran hakiki atas harkat dan martabat sebagai insan yang merdeka, bebas, dari penjajahan, penindasan dan eksploitasi lainnya.
b) Pengakuan atas kebenaran perjuangan bangsa Indonesia dalam merbut kemerdekaannya;
c) Kesadaran rakyat sebagai insan rlegius yang meyakini bahwa kemerdekaan itu diperoleh atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa;
d) Kesadaran bahwa kemerdekaan yang diperjuangkan itu dengan pengorbanan yang didasarkan pada suatu keinginan luhur, bukan oleh kepentingan sesaat atau ambisi politik golongan;
Tujuan nasional dan tujuan bagi penyelenggaraan Negara merupakan misi Negara yang harus diemban bersama, yakni : “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial..”. Kristalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 tersebut adalah Nilai Kemanusiaan, Nilai Relegius, Nilai Produktivitas, dan Nilai Keseimbangan. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam Batang Tubuh UUD 1945 tersebut adalah Nilai Demokrasi, Nilai Kesamaan Derajat, dan Nilai Ketaatan Hukum.
3) Berdasarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Nilai-nilai yang bersumber dari bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) meliputi :
a. Nilai Kesatuan Wilayah, sebagai konsekuensi dari negara kepulauan;
b. Nilai Persatuan Bangsa, sebagai konsekuensi dari bangsa yang bersifat plural, multi etnik, agama dan budaya;
c. Nilai Kemandirian, yakni membangun bangsa dilaksanakan malalui kekuatan sendiri, bantuan luar negeri sifatnya memperkuat untuk mengatasi kekurangan secara nasional.
4) Berdasarkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”
Nilai-nilai yang bersumber dari semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, meliputi:
a) Nilai Toleransi, yakni sikap yang mau memahami orang lain sehingga komunikasi dapat berlangsung secara baik;
b) Nilai Keadilan, yakni sikap yang mau menerima haknya dan tidak mau mengganggu hak orang lain;
c) Nilai Gotong Royong dan Kerjasama, sikap saling membantu dan bekerjasama dalam mencapai tujuan.
B. Kasus-Kasus Penyimpangan Nilai Keindonesia
1. Tantangan Globalisasi terhadap Nilai-nilai Keindonesiaan
Pada era delapan puluhan globalisasi bukanlah sebuah istilah yang dipakaisecara umum. Penggunaannya masih terbatas pada perdebatan-petdebatan dalam ranah bisnis dan beberapa sudut ilmu-ilmu sosial di Eropa. Tetapi kemudian istilah itu meraih status sebagai kata kunci yang mendunia (worldwide buzzword) dan menjadi sebuah terminologi yang bernuansa emosional dalam wacana publik. Ada yang memahaminya sebagai suatu masyarakat sipil internasional yang kondusif bagi perkembangan era damai dan proses demokratisasi. Yang lain memahaminya sebagai era ancaman dan hegemoni negara-negara maju secara ekonomi dan militer terhadap negara-negara berkembang dan miskin. Ada juga yang melihat globalisasi sebagai sebuah konsekuensi kultural dan proses homogenisasi dunia akibat kemajuan infrastruktur tansportasi dan jaringan komunikasi masa.
Globalisasi secara faktual ditandai oleh kaburnya batas-batas geografis, ideologis,dan kultural karena munculnya sebuah tata dunia baru. Di dalamnya terjadi proses kompresi ruang dengan adanya pertumbuhan pesat dalam kesalingterkaitan budaya, komoditas, informasi, dan masyarakat yang melintasi ruang dan waktu. Hal ini ditunjang oleh perkembangan teknologi dan sistem informasi untuk memadatkan ruang dan waktu. Akibatnya terjadi difusi perilaku, praktek, dan kode standar untuk proses arus informasi, uang, komoditas, dan orang-orang. Lalu lahirlah kosmopolitanisme yang ditanggapi secara beragam, ada yang mendukung, mengendalikan, dan mengawasai globalisasi dan sebaliknya ada yang menolak dan menentangnya.
Salah satu gejala globalisasi adalah internasionalisasi modal melalui organisasiorganisasikeuangan dunia dan proses produksi serta distribusi barang dan jasa melalui perusahaan-perusahaan multinasional. Komunitas global lalu terintegrasi secara intensif ke dalam satu sistem perdagangan di bawah kendali dan kekuatan modal global serta pasar bebas. Fakta yang paling menyolok dalam hal ini adalah terjadinya ekspansi pasar keuangan dunia sampai ke pelosok dunia untuk membiayai pembangunan dan perdagangan internasional. Peran negara dan pemerintah menjadi sangat kecil dalam mengatur sistem produksi dan distribusi barang dan jasa untuk warganya.
2. Tantangan di bidang Ekonomi.
Sebagai sebuah proyek ekonomi, globalisasi telah mempromosikan dan melegitimasi pemusatan struktur-struktur kekuasaan multi segi yang disebut neoliberalisme. Hal ini kemudian terwujudkan dalam kapitalisme neoliberal dan globalisasi neoliberal.3 Ada kecurigaan bahwa neoliberalisme telah menjadi selubung ideologis bagi sejumlah proyek globalisasi ekonomi sehingga kekuasaan dan dominasi makin menggurita melalui jaringan antar institusi internasional, kebijakan nasional, praktik korporasi dan investasi yang saling terjalin satu sama lain. Hal ini nampak jelas melalui sistem keuangan dunia yang telah dikendalikan oleh tiga lembaga paling berkuasa saat ini, yaitu International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan WorldTrade Organization (WTO). Mereka mengendalikan pasar dan modal global serta melindungi keuntungan maksimum negara donor dan pemilik modal.Akibatnyapemerintah-pemerintah nasional yang menjadi peminjam dana tidak berdaya dalam mengatur produksi dan distribusi barang dan jasa untuk masyarakatnya. Di Indonesia misalnya, sistem subsidi pemerintah dalam penyediaan dan pemenuhan kebutuhankebutuahan pokok masyarakat perlahan-lahan dihapuskan demi mengikuti arah kebijakan ekonomi IMF, World Bank, dan WTO. Meskipun pemerintah melakukannya dengan dalih pemerataan dan keadilan dalam penggunaan devisa negara, tetapi tetap saja penghapusan subsidi tersebut berimbas pada melemahnya daya beli masyarakat oleh karena kenaikan harga-harga barang dan jasa.
Proses globalisasi di bidang ekonomi inilah yang menjadi tantangan bagipewujudan masyarakat yang adil dan sejahtera sesuai dengan cita-cita Proklamasi dan nilai-nilai keindonesiaan. Dalam Pasal 33 UUD 45 ditegaskan:
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
3. Tantangan di Bidang Kebudayaan
Globalisasi sebagai sebuah proyek ekonomi dan proyek kultural yang berdampak pada semua dimensi kehidupan tidak saja memadatkan ruang dan waktu, tetapi juga menimbulkan kompleksitas interaksi manusia dan kegelisahan sosial. Ia tidak sajamenciptakan persaingan ekonomi yang semakin alot dan kesenjangan kesejahteraanyang semakin kentara, tetapi pada saat yang sama menyempitkan ruang gerak sosial dan mengaburkan identitas kultural. Dalam keadaan seperti ini Alberto Melluci melihat terjadinya transformasi budaya yang sangat luar biasa dalam masyarakat
kontemporer. Perkembangan yang impresif di bidang teknologi komunikasi yang menciptakan sebuah sistem media sedunia membuat kebudayaan-kebudayaan manusia terlibat dalam sebuah konfrontasi resiprokal masif, sehingga dimensi-dimensi kebudayan tindakan manusia menjadi salah satu sumber daya inti untuk menguasaiproduksi dan konsumsi.Indikator keadaan tersebut adalah terjadinya pergeseranfokus gerakan-gerakan sosial dari isu kelas sosial ke isu identitas kultural. Inilahfenomena baru dari konflik masyarakat global yang merangsek hingga ke level nasional dan lokal. Konflik-konflik sosial yang ada di masyarakat tidak lagi terekspresi secara keseluruhan melalui aksi-aksi politik dan perjuangan kelas melainkan lewat resistensi kultural terhadap bahasa-bahasa dominan dan kode-kode yang mengatur informasi dan membentuk praktek sosial. Resistensi ini kemudian terekspresi secara sistemik ke dalam struktur sosial melalui aksi-aksi kekerasan massa, intoleransi, diskriminasi, dan tribalisme.
Secara sosial dan kultural, masyarakat Indonesia sejatinya telah menjadi sebuahmasyarakat majemuk sejak ia menyatakan dirinya menjadi sebuah negara bangsa. Kemajemukan budaya Indonesia sebenarnya bukanlah hal baru dalam sejarahnya melainkan sebuah hakekat atau esensi yang inheren dengan keindonesiaannya sendiri. Kita bisa menemukan semua peradaban besar dunia di Indonesia. Sepanjang sejarahnya peradaban-peradaban tersebut tertenun dengan kebudayaan lokal dan membentuk kebudayaan nasional. “Tak akan ada sebuah entitas bangsa dan negara yang bernama Indonesia, jika tidak ada kemajemukannya. Tidak akan ada Indonesia, jika yang ada hanya ke-ika-an, ketunggalan atau monokulturalisme,” kata Azyumardi Azra.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut di atas persoalannya adalahbagaimana mempertahankan sistem ekonomi yang berorientasi kerakyatan di tengaharus globalisasi dewasa ini. Bagaimana meningkatkan usaha-usaha kecil dan menengah di tengah kuku-kuku perusahaan multinasional yang menancap di setiap penjuru negeri. Bagaimana menjaga stabilitas harga barang-barang kebutuhan pokok masyarakat di tengah sistem pasar bebas di mana harga-harga diserahkan pada mekanisme pasar. Bagaimana menjaga dan mengembangkan nasionalisme berdasarkan nilai-nilai keindonesiaannya.
4. Gerakan Aceh Merdeka
Konflik Aceh - Setelah Perang Dingin kita banyak menyaksikan berbagai konflik yang terjadi di dalam sebuah Negara, seperti halnya pada Yugolslavia, Kroasia, Macedonia, Bosnia dan Indonesia. Konflik yang terjadi di Indonesia salah satunya adalah konflik Aceh dimana dalam konflik tersebut telah memakan banyak korban, baik korban jiwa maupun korban materi.
Konflik atau Pemberontakan di Aceh antara tahun 1976 hingga tahun 2005 dikobarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) hal tersebut untuk mendapatkan kemerdekaan dari Indonesia. Gerakan Aceh Merdeka atau yang sering disebut dengan GAM, merupakan organisasi separatisme yang telah berdiri di Aceh sejak tahun 1976. Tujuan didirikannya GAM adalah untuk mengupayakan Aceh dapat lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan membuat negara kesatuan sendiri. Gerakan ini juga dikenal dengan nama Aceh Sumatera National Liberation Front (ASNLF).
a. Latar belakang Konflik dan Pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
Secara umum Latar belakang Konflik di aceh yang paling jelas adalah Perbedaan budaya antara Aceh dan banyak daerah lain di Indonesia. Disamping itu, banyak kebijakan sekuler dalam administrasi pada masa Presiden Soeharto (Orde Baru) sangat tidak disukai di Aceh, di mana banyak tokoh Aceh tidak menyukai kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mempromosikan satu "budaya Indonesia". Kemudian lokasi provinsi Aceh yang terletak di ujung Barat Indonesia menimbulkan anggapan yang meluas di provinsi Aceh bahwa para pemimpin di Jakarta yang jauh tidak mengerti dan memperhatikan masalah yang dimiliki Aceh serta tidak bersimpati pada kebutuhan dan adat istiadat di Aceh yang berbeda.
Selain itu, Kecenderungan sistem sentralistik pemerintahan Soeharto dan berbagai permasalahan lainnya akhirnya mendorong tokoh Aceh Hasan di Tiro (Teungku Hasan Muhammad di Tiro) untuk membentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 4 Desember 1976 dan memproklamasikan kemerdekaan Aceh. Permasalahan utama yang dianggap melatarbelakangi hal ini adalah budaya pemerintah Indonesia yang dianggap "neo-kolonial", dan makin banyaknya jumlah transmigran dari pulau Jawa ke provinsi Aceh serta Distribusi pendapatan yang tidak adil dari sumber daya alam yang diambil dari Aceh.
Pada awalnya, gerakan ini terdiri dari sekelompok intelektual yang merasa kecewa atas model pembangunan di Aceh. Hal ini terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan di bawah orang-orang Jawa. Kelompok intelektual ini berpendapat bahwa telah terjadi kolonialisasi Jawa atas masyarakat dan kekayaan alam tanah Aceh. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, kalangan pemuda, serta tokoh-tokoh agama di Aceh, Hasan di Tiro kemudian membuat gagasan anti-kolonialisasi Jawa. Gagasan Hasan Tiro ini semakin memuncak setelah pemerintah orde baru meng-eksplorasi kekayaan gas alam dan minyak bumi di Aceh Utara pada awal 1970an.
Sebab lain terjadinya gerakan separatisme GAM di Aceh, di perkuat oleh dukungan yang datang dari para tokoh Darul Islam (DI) di Aceh yang belum terselesaikan secara tuntas di zaman orde lama. beberapaTokoh DI/TII yang gagal melakukan pemberontakan di Aceh, merasa bahwa dengan memberikan dukungan terhadap GAM, nantinya Aceh dapat memperoleh kemerdekaannya.
b. Jalannya Konfil / Pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka
Pada awalnya, GAM adalah sebuah organisasi yang diproklamirkan secara terbatas. Deklarasi GAM yang dikumandangkan oleh Hasan di Tiro dilakukan secara diam-diam disebuah kamp kedua yang bertempat di bukit Cokan, Pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie. Setahun kemudian, teks tesebut disebarluaskan dalam versi tiga bahasa; Inggris Indonesia, dan Aceh. Penyebaran naskah teks proklamasi GAM ini terungkap ketika salah seorang anggotanya ditangkap oleh polisi dikarena pemalsuan formulir pemilu di tahun 1977. Sejak itulah, pemerintahan orde baru mengetahui tentang pergerakan bawah tanah di Aceh.
Banyak pemimpin GAM merupakan pemuda dan profesional berpendidikan yang merupakan anggota kelas ekonomi menengah dan golongan kaya masyarakat Aceh. Kabinet pertama GAM, yang dibentuk oleh Di Tiro di Aceh antara tahun 1976-1979, beranggotakan beberapa tokoh sebagai berikut:
• Teungku Hasan di Tiro:Wali Negara, Menteri Pertahanan, dan Panglima Agung
• Dr Muchtar Hasbi: Wakil Presiden, Menteri Dalam Negeri
• Teungku Ilyas Leube: Menteri Kehakiman
• Dr Zaini Abdullah: Menteri Kesehatan
• Dr Husaini M. Hasan: Menteri Pendidikan dan Informasi
• Malik Mahmud: Menteri Luar Negeri
• Dr Zubir Mahmud: Menteri Sosial
• Amir Mahmud Rasyid: Menteri Perdagangan
• Teungku Muhamad Usman Lampoih Awe: Menteri Keuangan
• Amir Ishak: Menteri Komunikasi
• Dr Asnawi Ali: Menteri Pekerjaan Umum dan Industri
Serangan pertama GAM pada tahun 1977 dilakukan terhadap Mobil Oil Indonesia yang merupakan pemegang saham PT Arun NGL, dimana PT Arun NGL adalah operator ladang gas Arun yang berlokasi di Lhokseumawe, Aceh Utara. Pada saat itu jumlah pasukan yang dimobilisasi oleh GAM sangatlah terbatas. Meskipun sudah ada ketidakpuasan cukup besar di Aceh namun hal tersebut tidak mengundang partisipasi aktif massa untuk mendukung GAM. Dalam pengakuan Hasan di Tiro sendiri, pada awalnya hanya 70 orang yang bergabung dengannya dan mereka kebanyakan berasal dari kabupaten Pidie, terutama dari desa di Tiro sendiri, yang bergabung karena loyalitas pribadi kepada keluarga Hasan di Tiro, sementara sisanya bergabung karena faktor kekecewaan pada pemerintah pusat.
Pada akhir tahun 1979, tindakan penekanan yang dilakukan militer Indonesia telah memukul telak GAM, para komandan GAM banyak yang berakhir di dibunuh, pengasingan, atau dipenjara. pengikut GAM lantas tercerai berai, bersembunyi dan melarikan diri. Para pemimpinnya seperti Dr Husaini M. Hasan (menteri pendidikan GAM), Malik Mahmud (menteri luar negeri GAM) dan Di Tiro, Zaini Abdullah (menteri kesehatan GAM) sudah kabur ke luar negeri dan kabinet GAM tang resmi tidak lagi menjalankan fungsinya.
Meskipun tidak mendapatkan dukungan yang luas, tindakan kelompok GAM yang lebih agresif ini membuat pemerintah Indonesia bertindak represif. Periode antara tahun 1989-1998 kemudian dikenal sebagai era Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh ketika militer Indonesia meningkatkan operasi kontra-pemberontakan di Aceh. Langkah Pemberlakuan DOM di Aceh ini meskipun secara taktik sukses menghancurkan kekuatan gerilya GAM, namun telah menyebabkan korban di kalangan penduduk sipil lokal di Aceh dan rakyat Aceh merasa terasing dari Republik Indonesia.
Karena merasa terasing dari Republik Indonesia setelah operasi militer tersebut, penduduk sipil Aceh kemudian mendukung dan membantu GAM membangun kembali organisasinya saat militer Indonesia hampir seluruhnya ditarik dari Aceh atas perintah presiden B.J. Habibie pada akhir era 1998 setelah kejatuhan Soeharto, saat itu Jakarta dilanda kerusuhan dan terjadi ketidak stabilan pemerintahan dan politik di indonesia.
Turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, menandakan berakhirnya era orde baru. Berbagai upaya untuk meredam pemberontakan di Aceh masih terus diusahakan oleh presiden-presiden RI berikutnya. Sejak era presiden B.J. Habibie sampai dengan presiden Megawati telah mengupayakan berbagai kebijakan. Namun sayangnya kebijakan-kebijakan tersebut tidak berjalan secara efektif.
Pada tahun 1999 saat terjadi kekacauan di Jawa dan pemerintah pusat yang tidak efektif hal tersebut memberikan kesempatan bagi GAM untuk melancarkan pemberontakan kembali di Aceh, namun kali ini dengan dukungan yang besar dari masyarakat Aceh. Sebenarnya pada tahun 1999 diumumkan penarikan pasukan, namun karena situasi keamanan yang memburuk di Aceh kemudian menyebabkan pengiriman ulang tentara dalam jumlah yang besar ke Aceh. pada pertengahan 2002 GAM dikatakan telah menguasai 70 persen pedesaan di penjuru Aceh.
Memburuknya kondisi keamanan di Aceh menyebabkan tindakan pengamanan keras dilakukan pada tahun 2001-2002. Pemerintah Megawati pada tahun 2003 juga meluncurkan operasi militer untuk mengakhiri konflik dengan GAM untuk selamanya dan keadaan darurat diberlakukan di Provinsi Aceh. Pada November 2003 darurat militer diperpanjang lagi selama 6 bulan karena GAM belum dapat dihancurkan sepenuhnya. Menurut laporan Human Rights Watch akibat dari di adakannya darurat militer di Aceh menyebabkan sekitar 100.000 orang mengungsi pada 7 bulan pertama darurat militer dan beberapa pelanggaran HAM.
Konflik ini sebenarnya masih berlangsung pada akhir 2004, namu saat itu tiba-tiba bencana Tsunami terjadi pada 24 Desember 2004 dan memporakporandakan segala infrastruktur di provinsi Aceh, sehingga secara tidak langsung bencana alam terbesar dalam sejarah Indonesia tersebut berhasil membekukan konflik yang terjadi di Aceh.
c. Kesepakatan damai dan pilkada pertama di Aceh
Setelah bencana Tsunami dahsyat meluluh-lantahkan sebagian besar Aceh dan menelan ratusan ribu korban jiwa, kedua belah pihak, GAM dan pemerintah Indonesia menyatakan gencatan senjata dan menekankan kebutuhan yang sama untuk menyelesaikan konflik tak berkesudahan ini. Upaya-upaya perdamaian yang sebelumnya telah gagal tetapi karena beberapa alasan termasuk faktor bencana tsunami, perdamaian akhirnya terjadi pada tahun 2005 setelah 29 tahun konflik berkepanjangan.
Perundingan perdamaian kemudian difasilitasi oleh LSM berbasis Finlandia, Crisis Management Initiative, dan dipimpin Martti Ahtisaari (mantan Presiden Finlandia). Perundingan ini menghasilkan kesepakatan damai yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005. Berdasarkan perjanjian maka terciptalah kesepakatan bahwa dilakukannya pelucutan senjata GAM dan Aceh akan menerima otonomi khusus di bawah Republik Indonesia kemudian tentara non-organik (mis. tentara beretnis non-Aceh) akan ditarik dari provinsi Aceh (hanya menyisakan 25.000 tentara non-Aceh). Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Uni Eropa menerjunkan 300 pemantau yang tergabung dalam Misi Pemantau Aceh (Aceh Monitoring Mission). Misi mereka selesai pada tanggal 15 Desember 2006, setelah suksesnya pemilihan daerah gubernur Aceh yang pertama.
5. Republik Maluku Selatan
a. Latar Belakang Peristiwa Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)
Republik Maluku Selatan (RMS) diproklamasikan oleh sekelompok orang mantan prajurit KNIL dan masyarakat Pro-Belanda yang di antaranya ialah Dr. Christian Robert Steven Soumokil, mantan jaksa agung Negara Indonesia Timur. Pemberontakan RMS ini merupakan suatu gerakan yang tidak hanya ingin memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur melainkan untuk membentuk Negara sendiri yang terpisah dari wilayah RIS. Pada awalnya, Soumokil, salah seorang mantan jaksa agung NIT ini, juga pernah terlibat dalam pemberontakan Andi Azis. Akan tetapi, setelah upayanya untuk melarikan diri, akhirnya dia berhasil meloloskan diri dan pergi ke Maluku. Selain itu, Soumokil juga dapat memindahkan anggota KNIL dan pasukan Baret Hijau dari Makasar ke Ambon.
b. Penyebab / Latar Belakang Pemberontakan RMS
Pemberontakan Andi Azis, Westerling, dan Soumokil memiliki kesamaan tujuan yaitu, mereka tidak puas terhadap proses kembalinya RIS ke Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI). Pemberontakan yang mereka lakukan mengunakan unsur KNIL yang merasa bahwa status mereka tidak jelas dan tidak pasti setelah KMB. Keberhasilan anggota APRIS mengatasi keadaan yang membuat masyarakat semakin bersemangat untuk kembali ke pangkuan NKRI. Namun, dalam usaha untuk mempersatukan kembali masyarakat ke Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi beberapa hambatan yang diantaranya terror dan intimidasi yang di tujukan kepada masyarakat, terlebih setelah teror yang dibantu oleh anggota Polisi yang telah dibantu dengan pasukan KNIL bagian dari Korp Speciale Troepen yang dibentuk oleh seorang kapten bernama Raymond Westerling yang bertempat di Batujajar yang berada di daerah Bandung. Aksi teror yang dilakukannya tersebut bahkan sampai memakan korban jiwa karena dalam aksi terror tersebut terjadi pembunuhan dan penganiayaan. Benih Separatisme-pun akhirnya muncul. Para biokrat pemerintah daerah memprovokasi masayarakat Ambon bahwa penggabungan wilayah Ambon ke NKRI akan menimbulkan bahaya di kemudian hari sehingga seluruh masyarakat diingatkan untuk menghindari dan waspada dari ancaman bahaya tersebut.
Pada tanggal 20 April tahun 1950, diajukannya mosi tidak percaya terhadap parlemen NIT sehingga mendorong kabinet NIT untuk meletakan jabatannya dan akhirnya kabinet NIT dibubarkan dan bergabung ke dalam wilayah NKRI. Kegagalan pemberontakan yang di lakukan oleh Andi Abdoel Azis (Andi Azis) menyebabkan berakhirnya Negara Indonesia Timur. Akan tetapi Soumokil bersama para anggotanya tidak akan menyerah untuk melepaskan Maluku Tengah dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indoneisa. Bahkan dalam perundingan yang berlangsung di Ambon dengan pemuka KNIL beserta Ir. Manusaman, ia mengusulkan supaya daerah Maluku Selatan dijadikan sebagai daerah yang merdeka, dan bila perlu seluruh anggota dewan yang berada di daerah Maluku Selatan dibunuh. Namun, usul tersebut ditolak karena anggota dewan justru mengusulkan supaya yang melakukan proklamasi kemerdekaan di Maluku Selatan tersebut adalah Kepala Daerah Maluku Selatan, yaitu J. Manuhutu. Akhirnya, J. Manuhutu terpaksa hadir pada rapat kedua di bawah ancaman senjata.
c. Tujuan Pemberontakan RMS di Maluku
Pemberontakan RMS yang didalangi oleh mantan jaksa agung NIT, Soumokil bertujuan untuk melepaskan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelum diproklamasikannya Republik Maluku Selatan (RMS), Gubernur Sembilan Serangkai yang beranggotakan pasukan KNIL dan partai Timur Besar terlebih dahulu melakukan propaganda terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memisahkan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan RI. Di sisi lain, dalam menjelang proklamasi RMS, Soumokil telah berhasil mengumpulkan kekuatan dari masyarakat yang berada di daerah Maluku Tengah. Sementara itu, sekelompok orang yang menyatakan dukungannya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia diancam dan dimasukkan ke penjara karena dukungannya terhadap NKRI dipandang buruk oleh Soumokil. Dan pada tanggal 25 April 1950, para anggota RMS memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS), dengan J.H Manuhutu sebagai Presiden dan Albert Wairisal sebagai Perdana Menteri. Para menterinya terdiri atas Mr.Dr.C.R.S Soumokil, D.j. Gasperz, J. Toule, S.J.H Norimarna, J.B Pattiradjawane, P.W Lokollo, H.F Pieter, A. Nanlohy, Dr.Th. Pattiradjawane, Ir.J.A. Manusama, dan Z. Pesuwarissa.
Pada tanggal 27 April 1950 Dr.J.P. Nikijuluw ditunjuk sebagai Wakil Presiden RMS untuk daerah luar negeri dan berkedudukan di Den Haang, Belanda, dan pada 3 Mei 1950, Soumokil menggantikan Munuhutu sebagai Presiden Rakyat Maluku Selatan. Pada tanggal 9 Mei, dibentuk sebuah Angkatan Perang RMS (APRMS) dan Sersan Mayor KNIL, D.J Samson diangkat sebagai panglima tertinggi di angkatan perang tersebut. Untuk kepala staf-nya, Soumokil mengangkat sersan mayor Pattiwale, dan anggota staf lainnya terdiri dari Sersan Mayor Kastanja, Sersan Mayor Aipassa, dan Sersan Mayor Pieter. Untuk sistem kepangkatannya mengikuti system dari KNIL.
d. Upaya Penumpasan Pemberontakan RMS di Maluku
Dalam upaya penumpasan, pemerintah berusaha untuk mengatasi masalah ini dengan cara berdamai. Cara yang dilakukan oleh pemerintah yaitu, dengan mengirim misi perdamaian yang dipimpin oleh seorang tokoh asli Maluku, yakni Dr. Leimena. Namun, misi yang diajukan tersebut ditolak oleh Soumokil. Selanjutnya misi perdamaian yang dikirim oleh pemerintah terdiri atas para pendeta, politikus, dokter, wartawan pun tidak dapat bertemu langsung dengan pengikut Soumokil.
Karena upaya perdamaian yang diajukan oleh pemerintah tidak berhasil, akhirnya pemerintah melakukan operasi militer untuk membersihkan gerakan RMS dengan mengerahkan pasukan Gerakan Operasi Militer (GOM) III yang dipimpin oleh seorang kolonel bernama A.E Kawilarang, yang menjabat sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur. Setelah pemerintah membentuk sebuah operasi militer, penumpasan pemberontakan RMS pun akhirnya dilakukan pada tanggal 14 Juli 1950, dan pada tanggal 15 Juli 1950, pemerintahan RMS mengumumkan bahwa Negara Republik Maluku Selatan sedang dalam bahaya. Pada tanggal 28 September, pasukan militer yang diutus untuk menumpas pemberontakan menyerbu ke daerah Ambon, dan pada tanggal 3 November 1950, seluruh wilayah Ambon dapat dikuasai termasuk benteng Nieuw Victoria yang akhirnya juga berhasil dikuasai oleh pasukan militer tersebut.
Dengan jatuhnya pasukan RMS yang berada di daerah Ambon, maka hal ini membuat perlawanan yang dilakukan oleh pasukan RMS dapat ditaklukan. Pada tanggal 4 sampai 5 Desember, melalui selat Haruku dan Saparua, pusat pemerintahan RMS beserta Angkatan Perang RMS berpindah ke Pulau Seram. Pada tahun 1952, J.H Munhutu yang tadinya menjabat sebagai presiden RMS tertangkap di pulau Seram, Sementara itu sebagian pimpinan RMS lainnya melarikan diri ke Negara Belanda. Setelah itu, RMS kemudian mendirikan sebuah organisasi di Belanda dengan pemerintahan di pengasingan (Government In Exile).
Beberapa tokoh dari pimpinan sipil dan militer RMS yang tertangkap akhirnya dimajukan ke meja hijau. Pada tanggal 8 Juni 1955, hakim menjatuhi sanksi hukuman tehadap :
1. J.H Munhutu, Presiden RMS di Hukum selama 4 Tahun
2. Albert Wairisal, menjabat sebagai Perdana Menteri Dalam Negeri di jatuhi hukuman 5 tahun
3. D.J Gasper, menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri di jatuhi hukuman 4 ½ Tahun
4. J.B Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Keuangan di jatuhi hukuman selama 4 ½ tahun
5. G.G.H Apituley, menjabat sebagai Menteri Keuangan di jatuhi hukuman selama 5 ½ tahun
6. Ibrahim Oharilla, menjabat sebagai Menteri Pangan di jatuhi hukuman selama 4 ½ tahun
7. J.S.H Norimarna, menjabat sebagai Menteri Kemakmuran di jatuhi hukuman selama 5 ½ tahun
8. D.Z Pessuwariza, menjabat sebagai Menteri Penerangan di jatuhi hukuman selama 5 ½ tahun
9. Dr. T.A Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Kesehatan di jatuhi hukuman selama 3 tahun
10. F.H Pieters, menjabat sebagai Menteri Perhubungan di jatuhi hukuman selama 4 Tahun
11. T. Nussy, menjabat sebagai Kepala Staf Tentara RMS di jatuhi hukuman selama 7 tahun
12. D.J Samson, menjabat sebagai Panglima Tertinggi Tentara RMS di jatuhi hukuman selama 10 tahun
Sementara itu, Dr. Soumokil, pada masa itu ia masih bertahan di hutan-hutan yang berada di pulau Seram sampai akhirnya ditangkap pada tanggal 2 Desember 1963. Pada Tahun 1964, Soumokil dimajukan ke meja hijau. Selama persidangan Soumokil berlangsung, meskipun ia bisa berbahasa Indonesia, namun pada saat itu ia selalu memakai Bahasa Belanda, sehingga pada saat persidangan di mulai, hakim mengutus seorang penerjemah untuk membantu persidangan Soumokil. Akhirnya pada tanggal 24 April 1964, Soumokil akhirnya dijatuhi hukuman mati. Eksekusi pun dilaksanakan pada tanggal 12 April 1966 dan berlangsung di Pulau Obi yang berada di wilayah kepulauan Seribu di sebelah Utara Kota Jakarta.
Sepeninggal Soumokil, sejak saat itu RMS berdiri di pengasingan di Negeri Belanda. Pengganti Soumokil adalah Johan Manusama. Ia menjadi presiden RMS pada tahun 1966-1992, selanjutnya digantikan oleh Frans Tutuhatunewa sampai tahun 2010 dan kemudian digantikan oleh John Wattilete.
e. Dampak dari Pemberontakan RMS di Maluku
Pada Tahun 1978 anggota RMS menyandera kurang lebih 70 warga sipil yang berada di gedung pemerintahan Belanda di Assen-Wesseran. Teror tersebut juga dilakukan oleh beberapa kelompok yang berada di bawah pimpinan RMS, seperti kelompok Bunuh Diri di Maluku Selatan. Dan pada tahun 1975 kelompok ini pernah merampas kereta api dan menyandera 38 penumpang kereta api tersebut.
Pada tahun 2002, pada saat peringatan proklamasi RMS yang ke-15 dilakukan, diadakan acara pengibaran bendera RMS di Maluku. Akibat dari kejadian ini, 23 orang ditangkap oleh aparat kepolisian. Setelah penangkapan aktivis tersebut dilakukan, mereka tidak menerima penangkapan tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. Selanjutnya mereka memperadilkan Gubernur Maluku beserta Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku karena melakukan penangkapan dan penahanan terhadap 15 orang yang diduga sebagai propokator dan pelaksana pengibaran bendera RMS tersebut. Aksi pengibaran bendera tersebut terus dilakukan, dan pada tahun 2004, ratusan pendukung RMS mengibarkan bendera RMS di Kudamati. Akibat dari pengibaran bendera ini, sejumlah aktivis yang berada di bawah naungan RMS ditangkap dan akibat dari penangkapan tersebut, terjadilah sebuah konflik antara sejumlah aktivis RMS dengan Kelompok Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Tidak cukup dengan aksi tersebut, Anggota RMS kembali menunjukkan keberadaannya kepada masyarakat Indonesia. Kali ini mereka tidak segan-segan untuk meminta pengadilan negeri Den Haang untuk menuntut Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dan menangkapnya atas kasus Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan terhadap 93 aktivis RMS. Peristiwa paling parah terjadi pada tahun 2007, dimana pada saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedang menghadiri hari Keluarga Nasional yang berlangsung di Ambon, Maluku. Ironisnya, pada saat penari Cakalele masuk ke dalam lapangan, mereka tidak tanggung-tanggung untuk mengibarkan bendera RMS di hadapan presiden SBY.
6. Pelepasan Timor Timur
a. Latar Belakang Pelepasan Timor Timur
Tepat pada 4 September 1999 di Dili dan di PBB hasil jajak pendapat masyarakat Timor Timur tentang pilihan untuk menerima otonomi khusus atau berpisah dengan NKRI diumumkan. Dan akhirnya, 78,5 persen penduduk menolak otonomi khusus dan memilih untuk memisahkan diri dari NKRI. Sejak itulah, isu disentegrasi bangsa menjadi suatu persoalan yang tidak bisa dinomorduakan sebab bukan tidak mungkin muncul “kecemburuan” dari daerah lain yang merasa dirinya kaya dan mampu mengurus daerahnya sendiri memilih memisahkan diri juga dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untunglah, kekhawatiran itu tidak terjadi pasca Timor Timur menyatakan sikap untuk membuat negara sendiri yang kini bernama Timor Leste.
Meskipun demikian, ancaman-ancaman untuk merobohkan bangunan NKRI selalu saja terbit ketika bangsa ini lemah dan lengah. Namun, siapakah pelaku yang mencoba merobohkan kebhinekaan Indonesia? Kalau boleh jujur, ini adalah lagu lama. Permusuhan dan permainan negara-negara yang merasa dirinya digdaya antara AS yang berkiblat pada ideologi liberalis dan negara-negara yang beraliran komunis.
Pada 31 Desember 31 Mei 1976 saat sidang DPR tentang masalah Timor Timur, dikeluarkan petisi yang mendesak pemerintah RI untuk secepatnya menerima dan mengesahkan integrasi Timor Timur ke dalam negara kesatuan RI tanpa referendum. Integrasi Timor Timur ke dalam wilayah RI diajukan secara resmi pada 29 Juni 1976. Dan seterusnya, pemerintah mengajukan RUU integrasi Timor Timur ke wilayah RI kepada DPR RI.
DPR melalui sidang plenonya menyetujui RUU tersebut menjadi UU Nomor. 7 Tahun 1976 pada 17 Juli 1976 dan ketentuan ini semakin kuat setelah MPR menetapkan TAP MPR No. VI / MPR/ 1978. Walhasil, Timor Timur menjadi Propinsi Indonesia yang ke-27. Dan propinsi yang baru lahir tersebut memiliki 13 kabupaten yang terdiri dari beberapa kecamatan. Ketigabelas kabupaten itu adalah Dili, Baucau, Monatuto, Lautem, Viqueque, Ainaro, Manufani, Kovalima, Ambeno, Bobonaru, Liquisa, Ermera dan Aileu. Arnaldo dos Reis Araujo dan Franxisco Xavier Lopez da Cruz diangkat oleh Presiden Soeharto menjadi gubernur dan wakil gubernur yang selanjutnya dilantik oleh Amir Machmud sebagai Menteri Dalam Negeri pada 3 Agustus 1976.
b. Timor Timur Melepaskan Diri
B. J Habibie yang menggantikan mantan presiden Soeharto mau tidak mau turut tertimpa masalah dan beragam krisis termasuk krisis disentegari di Timor Timur yang merupakan warisan orang yang mengajarkan sekaligus mendiktenya untuk berpolitik itu. Habibie yang terkesan tidak tegas, plin-plan dalam mengambil keputusan merupakan faktor keberuntungan yang dimiliki oleh Xanana Goesmao untuk mengacaubalaukan rasa nasionalime rakyat Timor Timur.
Xanana Goesmao yang didukung oleh negara luar seperti Australia dan Portugal semakin menggebu-gebu untuk menyuarakan kemerdekaan. Akan tetapi, Presiden B.J Habibie berupaya keras untuk menampal luka lama Partai Fretelin itu. Sayangnya, manusia brilliant asal Indonesia itu tidak mampu menutup luka secara utuh, hanya ditutup sebagian saja, sebagian lagi dibiar terbuka.
Dua opsi (pilihan alternatif) yang dia tawarkan untuk memecahkan masalah Timor Timur yaitu pemberian otonomi khusus di dalam negara kesatuan RI atau memisahkan diri dari Indonesia. Portugal dan PBB menyambut baik tawaran ini. Selanjutnya, perundingan Tripartit di New York pada 5 Mei 1999 antara Indonesia, Portugal dan PBB menghasilkan kesepakatan tentang pelaksanaan jajak pendapat mengenai status masa depan Timor Timur atau United Nations Mission in East Timor (UNAMET).
Jajak pendapat diselenggarakan pada tanggal 30 Agustus 1999 yang diikuti oleh 451.792 orang pemilih yang dianggap penduduk Timor Timur berdasarkan kriteria yang ditetapkan UNAMET, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun luar negeri. Hasil jajak pendapat diumumkan pada 4 September 1999 di Dili dan di PBB. Sejumlah 78,5 persen penduduk menolak dan 21,5 persen menerima otonomi khusus yang ditawarkan. Dengan mempertimbangkan hal ini maka MPR RI dalam Sidang Umum MPR pada 1999 mencabut TAP MPR No. VI/1978 dan mengembalikan Timor Timur seperti pada 1975.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Indonesia adalah negara yang penuh dengan keragaman, baik itu dari segi etnis, budaya, adat istiadat, dengan segala pola kehidupan masyarakat yang ada di dalamnya. Beriringan dengan hal itu, Indonesia juga memiliki berbagai masalah terkait dengan isu etnis tersebut, contoh nyatanya adalah konflik antar etnis yang sering terjadi di berbagai daerah dan berdampak bagi stabilitas nasional Indonesia.
Nilai-nilai keindonesiaan merupakan nilai dasar yang bersumber dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Sebagai dasar Negara; Undang-undang dasar 1945, sebagai konstitusi; Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai sasanti pemersatu; Bhineka Tunggal Ika. Nilai-nilai dasar tersebut dicerminkan dalam sikap dan perilaku Warga Negara Indonesia, yang mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, kesatuan wilayah yang terdiri dari pulau-pulau dai dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
B. Saran
1. Penulis menyarankan mengedepankan toleransi dan penanaman nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta kemampuan pemerintah menciptakan kebijakan yang adil dari segi politik, ekonomi, sosial dan budaya, karena pada dasarnya isu etnis ini merupakan hal yang sangat sensitif terutama di negara multikultural seperti Indonesia ini.
2. Kearifan lokal yang dimiliki oleh setiap etnis juga harus mampu berkembang dan di transformasikan menjadi nilai-nilai yang bermanfaat bagi pembangunan karakter bangsa. Karena dengan karakter bangsa yang kuat, akan membentuk suatu negara yang dapat menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya, sesuai dengan tujuan negara Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. 2007.Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia. Yogyakarta: Kanisius
https://plus.google.com/u/0/up/accounts/upgrade/?continue=https://plus.google.com/share?url%3Dhttp://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-dan-unsur-identitas-nasional.html
Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia. 2003. Jakarta: BPK Gunung Mulian,
Titaley, John. Kemerdekaan dan Masa Depan Indonesia, dalam Tim Balitbang PGI,
Komentar
Posting Komentar